PENGERTIAN
METODE PENELITIAN KUALITATIF
Pengertian
Metode Penelitian Kualitatif
Terdapat
kesalahan pemahaman di dalam masyarakat bahwa yang dinamakan sebagai
kegiatan penelitian adalah penelitian yang bercorak survei. Ditambah
lagi ada pemahaman lain bahwa penelitian yang benar jika menggunakan
sebuah daftar pertanyaan dan datanya dianalisa dengan menggunakan
teknik statistik. Pemahaman ini berkembang karena kuatnya pengaruh
aliran positivistik dengan metode penelitian kuantitatif.
- Ada dua kelompok metode penelitian dalam ilmu sosial yakni metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Di antara kedua metode ini sering timbul perdebatan di seputar masalah metodologi penelitian. Masing-masing aliran berusaha mempertahankan kekuatan metodenya
- Salah satu argumen yang dikedepankan oleh metode penelitian kualitatif adalah keunikan manusia atau gejala sosial yang tidak dapat dianalisa dengan metode yang dipinjam dari ilmu eksakta.
- Metode penelitian kualitatif menekankan pada metode penelitian observasi di lapangan dan datanya dianalisa dengan cara non-statistik meskipun tidak selalu harus menabukan penggunaan angka
- Penelitian kualitatif lebih menekankan pada penggunaan diri si peneliti sebagai alat. Peneliti harus mampu mengungkap gejala sosial di lapangan dengan mengerahkan segenap fungsi inderawinya. Dengan demikian, peneliti harus dapat diterima oleh responden dan lingkungannya agar mampu mengungkap data yang tersembunyi melalui bahasa tutur, bahasa tubuh, perilaku maupun ungkapan-ungkapan yang berkembang dalam dunia dan lingkungan responden.
Paradigma
Metode Penelitian
Ada dua metode
berfikir dalam perkembangan pengetahuan, yaitu metode deduktif yang
dikembangkan oleh Aristoteles dan metode induktif yang dikembangkan
oleh Francis Bacon. Metode deduktif adalah metode berfikir yang
berpangkal dari hal-hal yang umum atau teori menuju pada hal-hal yang
khusus atau kenyataan. Sedangkan metode induktif adalah sebaliknya.
Dalam pelaksanaan, kedua metode tersebut diperlukan dalam penelitian.
Kegiatan
penelitian memerlukan metode yang jelas. Dalam hal ini ada dua metode
penelitian yakni metode kualitatif dan metode kuantitatif. Pada
mulanya metode kuantitatif dianggap memenuhi syarat sebagai metode
penilaian yang baik, karena menggunakan alat-alat atau intrumen untuk
mengakur gejala-gejala tertentu dan diolah secara statistik. Tetapi
dalam perkembangannya, data yang berupa angka dan pengolahan
matematis tidak dapat menerangkan kebenaran secara meyakinkan. Oleh
sebab itu digunakan metode kualitatif yang dianggap mampu menerangkan
gejala atau fenomena secara lengkap dan menyeluruh.
Tiap
penelitian berpegang pada paradigma tertentu. Paradigma menjadi tidak
dominan lagi dengan timbulnya paradigma baru. Pada mulanya orang
memandang bahwa apa yang terjadi bersifat alamiah. Peneliti bersifat
pasif sehingga tinggal memberi makna dari apa yang terjadi dan tanpa
ingin berusaha untuk merubah. Masa ini disebut masa pra-positivisme.
Setelah itu
timbul pandangan baru, yakni bahwa peneliti dapat dengan sengaja
mengadakan perubahan dalam dunia sekitar dengan melakukan berbagai
eksperimen, maka timbullah metode ilmiah. Masa ini disebut masa
positivisme.
Pandangan
positivisme dalam perkembangannya dibantah oleh pendirian baru yang
disebut post-positivisme. Pendirian post-positivisme ini bertolak
belakang dergan positivisme. Dapat dikatakan bahwa post-positivisme
sebagai reaksi terhadap positivisme. Menurut pandangan
post-positivisme, kebenaran tidak hanya satu tetapi lebih kompleks,
sehingga tidak dapat diikat oleh satu teori tertentu saja.
Dalam
penelitian, dikenal tiga metode yang secara kronologis berurutan
yakni metode pra-positivisme, positivisme, dan post-positivisme.
Penelitian
kualitatif berbeda dengan penelitian lain. Untuk mengetahui perbedaan
tersebut ada 15 ciri penelitian kualitatif yaitu:
- Latar belakang tingkah laku atau perbuatan dicari maknanya. Dengan demikian maka apa yang ada di balik tingkah laku manusia merupakan hal yang pokok bagi penelitian kualitatif. Mengutamakan data langsung atau “first hand”. Penelitian kualitatif menuntut sebanyak mungkin kepada penelitinya untuk melakukan sendiri kegiatan penelitian di lapangan.
- Mementingkan rincian kontekstual. Peneliti mengumpulkan dan mencatat data yang sangat rinci mengenai hal-hal yang dianggap bertalian dengan masalah yang diteliti.
Pada
penelitian kualitatif, teori diartikan sebagai paradigma. Seorang
peneliti dalam kegiatan penelitiannya, baik dinyatakan secara
eksplisit atau tidak, menerapkan paradigma tertentu sehingga
penelitian menjadi terarah. Dasar teoritis dalam pendekatan
kualitatif adalah:
- Pendekatan interaksi simbolik. Dalam pendekatan interaksi simbolik diasumsikan bahwa objek orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertian sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan kepada mereka. Pengertian yang dlberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya bersifat esensial serta menentukan.
- Pendekatan kebudayaan. Untuk menggambarkan kebudayaan menurut perspektif ini seorang peneliti mungkin dapat memikirkan suatu peristiwa di mana manusia diharapkan berperilaku secara baik. Peneliti dengan pendekatan ini mengatakan bahwa bagaimana sebaiknya diharapkan berperilaku dalam suatu latar kebudayaan.
- Pendekatan etnometodologi. Etnometodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Seorang peneliti kualitatif yang menerapkan sudut pandang ini berusaha menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial sesuai dengan sudut pandang dari objek penelitiannya.
Kedudukan
Paradigma Dalam Metode Penelitian Kualitatif
Ilmu
pengetahuan merupakan suatu cabang studi yang berkaitan dengan
penemuan dan pengorganisasian fakta-fakta, prinsip-prinsip, dan
metoda-metoda. Dari sini dapat dipahami bahwa untuk dinyatakan
sebagai ilmu pengetahuan, maka cabang studi itu haruslah memiliki
unsur-unsur penemuan dan pengorganisasian, yang meliputi
pengorganisasian fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan,
prinsip-prinsip serta metoda-metoda. Oleh Moleong prinsip-prinsip ini
disebut sebagai aksioma-aksioma, yang menjadi dasar bagi para ilmuan
dan peneliti di dalam mencari kebenaran melalui kegiatan penelitian.
Dasar-dasar
untuk melakukan kebenaran itu biasa disebut sebagai paradigma, yang
oleh Bogdan dan Biklen dinyatakan sebagai kumpulan longgar dari
sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang
mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Ada berbagai macam
paradigma yang mendasari kegiatan penelitian ilmu-ilmu sosial.
Paradigma-paradigma yang beragam tersebut tidak terlepas dari adanya
dua tradisi intelektual Logico Empiricism dan Hermeneutika.
Logico
Empiricism, merupakan tradisi intelektual yang mendasarkan diri pada
sesuatu yang nyata atau faktual dan yang serba pasti. Sedangkan
Hermeneutika, merupakan tradisi intelektual yang mendasarkan diri
pada sesuatu yang berada di balik sesuatu yang faktual, yang nyata
atau yang terlihat.
Penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang berusaha melihat
kebenaran-kebenaran atau membenarkan kebenaran, namun di dalam
melihat kebenaran tersebut, tidak selalu dapat dan cukup didapat
dengan melihat sesuatu yang nyata, akan tetapi kadangkala perlu pula
melihat sesuatu yang bersifat tersembunyi, dan harus melacaknya lebih
jauh ke balik sesuatu yang nyata tersebut.
Pilihan
terhadap tradisi mana yang akan ditempuh peneliti sangat ditentukan
oleh tujuan dan jenis data yang akan ditelitinya. Oleh karena itu
pemahaman terhadap paradigma ilmu pengetahuan sangatlah perlu
dilakukan oleh para peneliti. Bagi kegiatan penelitian, paradigma
tersebut berkedudukan sebagai landasan berpijak atau fondasi dalam
melakukan proses penelitian selengkapnya.
Dalam rangka
melakukan pengumpulan fakta-fakta para ilmuwan atau peneliti terlebih
dahulu akan menentukan landasan atau fondasi bagi langkah-langkah
penelitiannya. Landasan atau fondasi tersebut akan dijadikan sebagai
prinsip-prinsip atau asumsi-asumsi dasar maupun aksioma, yang dalam
bahasanya Moleong disebut sebagai paradigma.
Menurut Bogdan
dan Biklen paradigma dinyatakan sebagai kumpulan longgar dari
sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang
mengarahkan cara berpikir dan penelitian.
Paradigma
didalam ilmu pengetahuan sosial memiliki ragam yang demikian banyak,
baik yang berlandaskan pada aliran pemikiran Logico Empiricism maupun
Hermeneutic. Masing-masing paradigma tersebut memiliki keunggulan dan
kelemahan masing-masing. Oleh karena itu para peneliti harus
mempunyai pemahaman yang cukup terhadap dasar pemikiran
paradigma-paradigma yang ada sehingga sebelum melakukan kegiatan
penelitiannya, para peneliti dapat memilih paradigma sebagai landasan
penelitiannya secara tepat.
Menurut Meta
Spencer paradigma di dalam ilmu sosial meliputi (1) perspektif
evolusionisme, (2) interaksionisme simbolik, (3) model konflik, dan
(4) struktural fungsional. Menurut George Ritzer paradigma di dalam
ilmu sosial terdiri atas (1) fakta sosial, (2) definisi sosial, dan
(3) perilaku sosial.
Perbedaan dan
keragaman paradigma dan atau teori yang berkembang di dalam ilmu
pengetahuan sosial, menuntut para peneliti untuk mencermatinya di
dalam rangka memilih paradigma yang tepat bagi permasalahan dan
tujuan penelitiannya.
Pengertian dan
Fungsi Perumusan Masalah
Perumusan
masalah merupakan salah satu tahap di antara sejumlah tahap
penelitian yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan
penelitian. Tanpa perumusan masalah, suatu kegiatan penelitian akan
menjadi sia-sia dan bahkan tidak akan membuahkan hasil apa-apa.
Perumusan
masalah atau research questions atau disebut juga sebagai research
problem, diartikan sebagai suatu rumusan yang mempertanyakan suatu
fenomena, baik dalam kedudukannya sebagai fenomena mandiri, maupun
dalam kedudukannya sebagai fenomena yang saling terkait di antara
fenomena yang satu dengan yang lainnya, baik sebagai penyebab maupun
sebagai akibat.
Mengingat
demikian pentingnya kedudukan perumusan masalah di dalam kegiatan
penelitian, sampai-sampai memunculkan suatu anggapan yang menyatakan
bahwa kegiatan melakukan perumusan masalah, merupakan kegiatan
separuh dari penelitian itu sendiri.
Perumusan
masalah penelitian dapat dibedakan dalam dua sifat, meliputi
perumusan masalah deskriptif, apabila tidak menghubungkan antar
fenomena, dan perumusan masalah eksplanatoris, apabila rumusannya
menunjukkan adanya hubungan atau pengaruh antara dua atau lebih
fenomena.
Perumusan
masalah memiliki fungsi sebagai berikut yaitu Fungsi pertama adalah
sebagai pendorong suatu kegiatan penelitian menjadi diadakan atau
dengan kata lain berfungsi sebagai penyebab kegiatan penelitian itu
menjadi ada dan dapat dilakukan. Fungsi kedua, adalah sebagai
pedoman, penentu arah atau fokus dari suatu penelitian. Perumusan
masalah ini tidak berharga mati, akan tetapi dapat berkembang dan
berubah setelah peneliti sampai di lapangan. Fungsi ketiga dari
perumusan masalah, adalah sebagai penentu jenis data macam apa yang
perlu dan harus dikumpulkan oleh peneliti, serta jenis data apa yang
tidak perlu dan harus disisihkan oleh peneliti. Keputusan memilih
data mana yang perlu dan data mana yang tidak perlu dapat dilakukan
peneliti, karena melalui perumusan masalah peneliti menjadi tahu
mengenai data yang bagaimana yang relevan dan data yang bagaimana
yang tidak relevan bagi kegiatan penelitiannya. Sedangkan fungsi
keempat dari suatu perumusan masalah adalah dengan adanya perumusan
masalah penelitian, maka para peneliti menjadi dapat dipermudah di
dalam menentukan siapa yang akan menjadi populasi dan sampel
penelitian.
Kriteria-kriteria
Perumusan Masalah
Ada
setidak-tidaknya tiga kriteria yang diharapkan dapat dipenuhi dalam
perumusan masalah penelitian yaitu kriteria pertama dari suatu
perumusan masalah adalah berwujud kalimat tanya atau yang bersifat
kalimat interogatif, baik pertanyaan yang memerlukan jawaban
deskriptif, maupun pertanyaan yang memerlukan jawaban eksplanatoris,
yaitu yang menghubungkan dua atau lebih fenomena atau gejala di dalam
kehidupan manusaia.
Kriteria Kedua
dari suatu masalah penelitian adalah bermanfaat atau berhubungan
dengan upaya pembentukan dan perkembangan teori, dalam arti
pemecahannya secara jelas, diharapkan akan dapat memberikan sumbangan
teoritik yang berarti, baik sebagai pencipta teori-teori baru maupun
sebagai pengembangan teori-teori yang sudah ada.
Kriteria
ketiga, adalah bahwa suatu perumusan masalah yang baik, juga
hendaknya dirumuskan di dalam konteks kebijakan pragmatis yang sedang
aktual, sehingga pemecahannya menawarkan implikasi kebijakan yang
relevan pula, dan dapat diterapkan secara nyata bagi proses pemecahan
masalah bagi kehidupan manusia.
Berkenaan
dengan penempatan rumusan masalah penelitian, didapati beberapa
variasi, antara lain (1) Ada yang menempatkannya di bagian paling
awal dari suatu sistematika peneliti, (2) Ada yang menempatkan
setelah latar belakang atau bersama-sama dengan latar belakang
penelitian dan (3) Ada pula yang menempatkannya setelah tujuan
penelitian.
Di manapun
rumusan masalah penelitian ditempatkan, sebenarnya tidak terlalu
penting dan tidak akan mengganggu kegiatan penelitian yang
bersangkutan, karena yang penting adalah bagaimana kegiatan
penelitian itu dilakukan dengan memperhatikan rumusan masalah sebagai
pengarah dari kegiatan penelitiannya. Artinya, kegiatan penelitian
yang dilakukan oleh siapapun, hendaknya memiliki sifat yang konsisten
dengan judul dan perumusan masalah yang ada. Kesimpulan yang didapat
dari suatu kegiatan penelitian, hendaknya kembali mengacu pada judul
dan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan.
Sumber Buku
Metode Penelitian Kualitatif
Comments